Sabtu, 23 Mei 2015

MANUSIA DAN KEADILAN #2

Kejamnya Keadilan "Sandal Jepit"....
Jumat, 6 Januari 2012 | 09:44 WIB

KOMPAS.com - Jauh sebelum kasus "sandal jepit" merebak, penyanyi kondang Iwan Fals sudah teriak-teriak soal sandal jepit dalam syair lagunya "Besar dan Kecil". Iwan menganalogikan rakyat kecil seperti jendal jepit yang selalu terjepit, diremehkan, lemah, selalu kalah. Seperti sandal jepit, begitulah kenyataan masyarakat kecil jika harus berurusan dengan hukum.
Tidak perlu menutup mata karena kenyataan itu ada di depan mata kita. Aparat negeri ini terkesan lebih suka menjepit rakyat kecil yang sudah biasa menjerit karena ketidakadilan di negeri ini. Mereka terkesan lebih senang membela pejabat dengan kekayaan berlipat, dibandingkan rakyat kecil yang biasa hidup melarat.
Mau bukti? Tengoklah kasus Nenek Minah (55) asal Banyumas yang divonis 1,5 tahun pada 2009, hanya karena mencuri tiga buah Kakao yang harganya tidak lebih dari Rp 10.000. Bahkan, untuk datang ke sidang kasusnya ini Nenek yang sudah renta dan buta huruf itu harus meminjam uang Rp 30.000 untuk biaya transportasi dari rumah ke pengadilan yang memang jaraknya cukup jauh.
Yang paling anyar, kasus pencurian sandal jepit yang menjadikan AAL (15) pelajar SMK 3, Palu, Sulawesi Tengah, sebagai pesakitan di hadapan meja hijau. Ia dituduh mencuri sandal jepit milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap, anggota Brimob Polda Sulteng. Hanya gara-gara sandal jepit butut AAL terancam hukuman kurungan maksimal lima tahun penjara.
Proses hukum atas AAL pun tampak janggal. Ia didakwa mencuri sandal merek Eiger nomor 43. Namun, bukti yang diajukan adalah sandal merek Ando nomor 9,5. Selama persidangan tak ada satu saksi pun yang melihat langsung apakah sandal merek Ando itu memang diambil AAL di depan kamar Rusdi.
Di persidangan, Rusdi yakin sandal yang diajukan sebagai barang bukti itu adalah miliknya karena, katanya, ia memiliki kontak batin dengan sandal itu. Saat hakim meminta mencoba, tampak jelas sandal Ando itu kekecilan untuk kaki Rusdi yang besar.
AAL memang dibebaskan dari hukuman dan dikembalikan kepada orangtuanya. Namun, majelis hakim memutus AAL bersalah karena mencuri barang milik orang lain.
Sosiolog dari Universitas Indonesia Imam Prasodjo kepada Kompas.com, Kamis (5/1/2012) di Jakarta mengatakan, hukuman yang diberikan kepada Nenek Minah dan AAL itu menggambarkan bahwa proses hukum yang mati dari tujuan hukum itu sendiri. Hukum, kata dia, hanya mengikuti aturan formal, tidak memperhitungkan subtansi dan hati nurani.
"Ancaman lima tahun dan vonis 1,5 tahun itu, bukan masalah Jaksa, Polisi, atau Hakim saja. Tapi mereka semua telah melakukan kesesatan kolektif. Meskipun banyak protes dari masyarakat, mereka masih juga memproses dan memutuskan sesuatu secara tidak sedikitpun ada kesadaran dan evaluasi," kata Imam.
Sosiolog Soetandyo Wignjosoebroto pun mengatakan hal serupa. Hakim kini dinilainya terlalu legalistik terhadap putusan bersalah rakyat kecil. Hakim tidak mampu memahami arti dan makna sekaligus kearifan yang terkandung dalam aturan hukum.
"Undang-undang itu dead letter law (hukum yang mati). Hukum menjadi aktif dan dinamik melalui kata hati dan tafsir hakim. Kalau putusannya itu aneh, itu bukan salah undang-undang, melainkan hakim. Hakimnya harus pandai memberi putusan yang bisa diterima," kata Soetandyo.
Meskipun, seyogyanya mencuri atau mengambil barang orang lain sekecil apa pun tanpa izin adalah perbuatan melanggar hukum. Dan hukum harus ditegakkan. Namun, apakah hal itu sudah sesuai rasa keadilan di masyarakat?
Lihat saja bagaimana para pejabat dan koruptor berdasi putih mencuri uang rakyat yang nilainya sebanding dengan jutaan sandal jepit dan kakao itu diperlakukan dengan terhormat oleh aparat. Mereka dapat melanggeng bebas dari hukuman yang tidak terlalu berat. Mereka pun dapat mangkir dari panggilan pengadilan dengan alasan sakit yang kadang dibuat-buat.
Data Indonesian Corruption Watch (ICW) menunjukan koruptor rata-rata hanya dihukum di bawah dua tahun. Pada 2010, sebanyak 269 kasus atau 60,68 persen hanya dijatuhi hukuman antara 1 dan 2 tahun. Sedangkan, 87 kasus divonis 3-5 tahun, 13 kasus atau 2,94 persen divonis 6-10 tahun. Adapun yang dihukum lebih dari 10 tahun hanya dua kasus atau 0,45 persen.
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqqodas pada pertengahan November tahun lalu, mengakui bahwa hukuman untuk koruptor memang rendah. Pengadilan, kata Busyro, seakan-akan tak mencerminkan ideologi hukum yang baik. "Putusan hakim kehilangan roh untuk berpihak pada kepentingan rakyat," kata Busyro.
Guru Besar Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan kini hukum hanya tajam jika kebawah dan tumpul jika berhadapan dengan kalangan atas. Pemerintah, menurut Hikmahanto, seharusnya peka terhadap rasa ketidakadilan yang terus dialami rakyat.
"Saya prihatin. Hakim terlalu legalistik jika pihak yang lemah menjadi terdakwa. Untuk kasus korupsi, hakim justru tak menggunakan kacamata kuda, tetapi seolah-olah memahami tuduhan korupsi tak terbukti dengan melihat konteks," kata Himkmahanto di Jakarta, Kamis.
Keadilan Restoratif
Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait menyarankan agar aparat penegak hukum menggunakan restorative justice (keadilan restoratif) sebagai penyelesaian alternatif dalam sejumlah kasus kecil seperti yang menimpa AAL maupun Nenek Minah.
Keadilan restoratif adalah konsep pemidanaan yang mengedepankan pemulihan kerugian yang dialami korban dan pelaku, dibanding menjatuhkan hukuman penjara bagi pelaku. Hal itu dimaksudkan agar penyelesaian kasus-kasus kecil tak perlu sampai ke pengadilan, tetapi diselesaikan cukup dengan mediasi. Peradilan anak telah digagas pemerintah belandaskan azas ini.
Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar yang turut memperjuangkan penerapan keadilan restoratif mengaku kecewa dengan para penegak hukum yang tidak menggunakan konsep tersebut. Ia menilai, Kementerian Hukum dan HAM pun bertanggunjawab, karena sekarang lebih peduli pada pencitraan, sehingga subtansi rasa keadilan masyarakat tidak tersentuh lagi.
"Sungguh disesalkan, sekarang ini semua penegak hukum mulai lagi kembali ke ego sektoral masing-masing," kata Patrialis.
Sejumlah pandangan, fakta itu, memperlihatkan bahwa keadilan hukum di negeri ini hanya sebatas keadilan sendal jepit, keadilan yang menjepit rakyat kecil. Sungguh ironi, di negeri yang dalam butir-butir dasar negaranya disebut menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan perilaku berkeadilan ini, rakyatnya diperlakukan dalam perbedaan kasta besar dan kecil. Penegakan hukum di negeri ini masih sangat diskriminatif. Keras dan tegas untuk rakyat kecil, tapi loyo dan bagai agar-agar bagi kalangan atas.
Penulis : Ary Wibowo
Editor    : Heru Margianto

Analisa dan Opini :


                Aturan dan hukum di Indonesia amat mengherankan, mungkin pikiran ini akan sangat banyak dinyatakan oleh orang yang “tidak tahu apa-apa soal hukum”, orang yang seyogyanya tidak mempelajari hukum seperti para pengacara atau advokat dan sebagainya yang menyandang gelar sehingga memanjangkan namanya. Tapi untuk kami seperti itulah penjabaran hukum dan keadilan dinegeri ini, membuat orang miski semakin miskin, kaya semakin kaya, salah dibenarkan, benar disalahkan hanya karena uang dan rasa takut akan jabatan yang didudukinya terancam oleh orang lain. Hal tersebut membuat kasus yang menyangkut keadilan dinegeri ini rentan dan rapuh dari rasa “ADIL”, dimana yang tahu caranya berbelit dalam hukum, meski salah, hukuman yang setimpal pun dapat diringankan atau bahkan bebas hukuman, sedangkan yang tidak tahu apa-apa seperti orang-orang kecil hanya tahu bahwa keputusan hakim itu mutlak. Banyak kasus seperti itu terjadi di Indonesia seperti kasus yang diberitakan diatas. Tidak dapat dipungkiri dan memang benar bahwa pencuri harus dihukum sesuai aturan, tetapi bagi orang-orang yang “MASIH MEMILIKI HATI” harusnya mereka mencari jalan damai dan sesuai, masih cukup mengherankan bagi banyak orang untuk tahu bahwa mencuri sendal milik polisi bisa dipenjara, mencuri barang orang yang nilainya tidak lebih dari Rp. 10.000 disidang dan dipenjara, sedangkan bagi orang kaya yang kesalahannya benar-benar dikutuk dan diharamkan bagi semua orang didunia hanya mendapat hukuman yang alakadarnya, yang penting asal dihukum dan jelas tidak akan menimbulkan efek jera sama seklai, bahkan sebaliknya. Tentu sekali lagi, bagi orang yang “MASIH MEMILIKI HATI”, akan terbesit dibenaknya “APA ITU ADIL?”, “ADA APA DENGAN HUKUM DISINI?”, “APA HARUS BEGITU?”. Sebenarnya menurut saya pribadi tidak ada salah sama sekali dengan hukum di Indonesia dan memang hukum dinegara demokrasi nan mengedepankan HAM ini semakin baik dengan perubahan-perubahan sedemikian rupa. Yang salah itu para penegaknya, para atasannya, mereka yang lebih mementingkan diri sendiri dan menyampingkan tanggung jawab dan nuraninya atas orang lain. Untuk itu kita pasti berharap bahwa Indonesia dapat dipimpin oleh orang yang jujur dan amanah, karena selama masih ada orang yang memiliki sifat curang, maka hukum hanyalah sebuah alat tak bermakna penting.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Analisis Sentimen Twitter bertemakan Black Campaign

Sentiment Analysis Twitter kategori Black Campaign Twitter adalah situs web dimiliki dan dioperasikan oleh Twitter, Inc., yang menawarka...