Kejamnya Keadilan "Sandal Jepit"....
Jumat, 6 Januari 2012 | 09:44 WIB
KOMPAS.com - Jauh sebelum kasus "sandal jepit"
merebak, penyanyi kondang Iwan Fals sudah teriak-teriak soal sandal jepit dalam
syair lagunya "Besar dan Kecil". Iwan menganalogikan rakyat kecil
seperti jendal jepit yang selalu terjepit, diremehkan, lemah, selalu kalah.
Seperti sandal jepit, begitulah kenyataan masyarakat kecil jika harus berurusan
dengan hukum.
Tidak perlu menutup mata karena kenyataan itu ada di depan
mata kita. Aparat negeri ini terkesan lebih suka menjepit rakyat kecil yang
sudah biasa menjerit karena ketidakadilan di negeri ini. Mereka terkesan lebih
senang membela pejabat dengan kekayaan berlipat, dibandingkan rakyat kecil yang
biasa hidup melarat.
Mau bukti? Tengoklah kasus Nenek Minah (55) asal Banyumas
yang divonis 1,5 tahun pada 2009, hanya karena mencuri tiga buah Kakao yang
harganya tidak lebih dari Rp 10.000. Bahkan, untuk datang ke sidang kasusnya
ini Nenek yang sudah renta dan buta huruf itu harus meminjam uang Rp 30.000
untuk biaya transportasi dari rumah ke pengadilan yang memang jaraknya cukup
jauh.
Yang paling anyar, kasus pencurian sandal jepit yang
menjadikan AAL (15) pelajar SMK 3, Palu, Sulawesi Tengah, sebagai pesakitan di
hadapan meja hijau. Ia dituduh mencuri sandal jepit milik Briptu Ahmad Rusdi
Harahap, anggota Brimob Polda Sulteng. Hanya gara-gara sandal jepit butut AAL
terancam hukuman kurungan maksimal lima tahun penjara.
Proses hukum atas AAL pun tampak janggal. Ia didakwa mencuri
sandal merek Eiger nomor 43. Namun, bukti yang diajukan adalah sandal merek
Ando nomor 9,5. Selama persidangan tak ada satu saksi pun yang melihat langsung
apakah sandal merek Ando itu memang diambil AAL di depan kamar Rusdi.
Di persidangan, Rusdi yakin sandal yang diajukan sebagai
barang bukti itu adalah miliknya karena, katanya, ia memiliki kontak batin
dengan sandal itu. Saat hakim meminta mencoba, tampak jelas sandal Ando itu
kekecilan untuk kaki Rusdi yang besar.
AAL memang dibebaskan dari hukuman dan dikembalikan kepada
orangtuanya. Namun, majelis hakim memutus AAL bersalah karena mencuri barang
milik orang lain.
Sosiolog dari Universitas Indonesia Imam Prasodjo kepada
Kompas.com, Kamis (5/1/2012) di Jakarta mengatakan, hukuman yang diberikan
kepada Nenek Minah dan AAL itu menggambarkan bahwa proses hukum yang mati dari
tujuan hukum itu sendiri. Hukum, kata dia, hanya mengikuti aturan formal, tidak
memperhitungkan subtansi dan hati nurani.
"Ancaman lima tahun dan vonis 1,5 tahun itu, bukan
masalah Jaksa, Polisi, atau Hakim saja. Tapi mereka semua telah melakukan
kesesatan kolektif. Meskipun banyak protes dari masyarakat, mereka masih juga
memproses dan memutuskan sesuatu secara tidak sedikitpun ada kesadaran dan
evaluasi," kata Imam.
Sosiolog Soetandyo Wignjosoebroto pun mengatakan hal serupa.
Hakim kini dinilainya terlalu legalistik terhadap putusan bersalah rakyat
kecil. Hakim tidak mampu memahami arti dan makna sekaligus kearifan yang
terkandung dalam aturan hukum.
"Undang-undang itu dead letter law (hukum yang mati).
Hukum menjadi aktif dan dinamik melalui kata hati dan tafsir hakim. Kalau
putusannya itu aneh, itu bukan salah undang-undang, melainkan hakim. Hakimnya
harus pandai memberi putusan yang bisa diterima," kata Soetandyo.
Meskipun, seyogyanya mencuri atau mengambil barang orang
lain sekecil apa pun tanpa izin adalah perbuatan melanggar hukum. Dan hukum
harus ditegakkan. Namun, apakah hal itu sudah sesuai rasa keadilan di
masyarakat?
Lihat saja bagaimana para pejabat dan koruptor berdasi putih
mencuri uang rakyat yang nilainya sebanding dengan jutaan sandal jepit dan
kakao itu diperlakukan dengan terhormat oleh aparat. Mereka dapat melanggeng
bebas dari hukuman yang tidak terlalu berat. Mereka pun dapat mangkir dari
panggilan pengadilan dengan alasan sakit yang kadang dibuat-buat.
Data Indonesian Corruption Watch (ICW) menunjukan koruptor
rata-rata hanya dihukum di bawah dua tahun. Pada 2010, sebanyak 269 kasus atau
60,68 persen hanya dijatuhi hukuman antara 1 dan 2 tahun. Sedangkan, 87 kasus
divonis 3-5 tahun, 13 kasus atau 2,94 persen divonis 6-10 tahun. Adapun yang
dihukum lebih dari 10 tahun hanya dua kasus atau 0,45 persen.
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqqodas pada
pertengahan November tahun lalu, mengakui bahwa hukuman untuk koruptor memang
rendah. Pengadilan, kata Busyro, seakan-akan tak mencerminkan ideologi hukum
yang baik. "Putusan hakim kehilangan roh untuk berpihak pada kepentingan
rakyat," kata Busyro.
Guru Besar Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana
mengatakan kini hukum hanya tajam jika kebawah dan tumpul jika berhadapan
dengan kalangan atas. Pemerintah, menurut Hikmahanto, seharusnya peka terhadap
rasa ketidakadilan yang terus dialami rakyat.
"Saya prihatin. Hakim terlalu legalistik jika pihak
yang lemah menjadi terdakwa. Untuk kasus korupsi, hakim justru tak menggunakan
kacamata kuda, tetapi seolah-olah memahami tuduhan korupsi tak terbukti dengan
melihat konteks," kata Himkmahanto di Jakarta, Kamis.
Keadilan Restoratif
Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka
Sirait menyarankan agar aparat penegak hukum menggunakan restorative justice
(keadilan restoratif) sebagai penyelesaian alternatif dalam sejumlah kasus
kecil seperti yang menimpa AAL maupun Nenek Minah.
Keadilan restoratif adalah konsep pemidanaan yang
mengedepankan pemulihan kerugian yang dialami korban dan pelaku, dibanding
menjatuhkan hukuman penjara bagi pelaku. Hal itu dimaksudkan agar penyelesaian
kasus-kasus kecil tak perlu sampai ke pengadilan, tetapi diselesaikan cukup
dengan mediasi. Peradilan anak telah digagas pemerintah belandaskan azas ini.
Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar
yang turut memperjuangkan penerapan keadilan restoratif mengaku kecewa dengan
para penegak hukum yang tidak menggunakan konsep tersebut. Ia menilai, Kementerian
Hukum dan HAM pun bertanggunjawab, karena sekarang lebih peduli pada
pencitraan, sehingga subtansi rasa keadilan masyarakat tidak tersentuh lagi.
"Sungguh disesalkan, sekarang ini semua penegak hukum
mulai lagi kembali ke ego sektoral masing-masing," kata Patrialis.
Sejumlah pandangan, fakta itu, memperlihatkan bahwa keadilan
hukum di negeri ini hanya sebatas keadilan sendal jepit, keadilan yang menjepit
rakyat kecil. Sungguh ironi, di negeri yang dalam butir-butir dasar negaranya
disebut menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan perilaku berkeadilan ini,
rakyatnya diperlakukan dalam perbedaan kasta besar dan kecil. Penegakan hukum
di negeri ini masih sangat diskriminatif. Keras dan tegas untuk rakyat kecil,
tapi loyo dan bagai agar-agar bagi kalangan atas.
Penulis : Ary Wibowo
Editor : Heru Margianto
Analisa dan Opini :
Aturan dan
hukum di Indonesia amat mengherankan, mungkin pikiran ini akan sangat banyak
dinyatakan oleh orang yang “tidak tahu apa-apa soal hukum”, orang yang
seyogyanya tidak mempelajari hukum seperti para pengacara atau advokat dan
sebagainya yang menyandang gelar sehingga memanjangkan namanya. Tapi untuk kami
seperti itulah penjabaran hukum dan keadilan dinegeri ini, membuat orang miski
semakin miskin, kaya semakin kaya, salah dibenarkan, benar disalahkan hanya
karena uang dan rasa takut akan jabatan yang didudukinya terancam oleh orang
lain. Hal tersebut membuat kasus yang menyangkut keadilan dinegeri ini rentan
dan rapuh dari rasa “ADIL”, dimana yang tahu caranya berbelit dalam hukum,
meski salah, hukuman yang setimpal pun dapat diringankan atau bahkan bebas
hukuman, sedangkan yang tidak tahu apa-apa seperti orang-orang kecil hanya tahu
bahwa keputusan hakim itu mutlak. Banyak kasus seperti itu terjadi di Indonesia
seperti kasus yang diberitakan diatas. Tidak dapat dipungkiri dan memang benar
bahwa pencuri harus dihukum sesuai aturan, tetapi bagi orang-orang yang “MASIH
MEMILIKI HATI” harusnya mereka mencari jalan damai dan sesuai, masih cukup
mengherankan bagi banyak orang untuk tahu bahwa mencuri sendal milik polisi
bisa dipenjara, mencuri barang orang yang nilainya tidak lebih dari Rp. 10.000
disidang dan dipenjara, sedangkan bagi orang kaya yang kesalahannya benar-benar
dikutuk dan diharamkan bagi semua orang didunia hanya mendapat hukuman yang
alakadarnya, yang penting asal dihukum dan jelas tidak akan menimbulkan efek
jera sama seklai, bahkan sebaliknya. Tentu sekali lagi, bagi orang yang “MASIH
MEMILIKI HATI”, akan terbesit dibenaknya “APA ITU ADIL?”, “ADA APA DENGAN HUKUM
DISINI?”, “APA HARUS BEGITU?”. Sebenarnya menurut saya pribadi tidak ada salah
sama sekali dengan hukum di Indonesia dan memang hukum dinegara demokrasi nan
mengedepankan HAM ini semakin baik dengan perubahan-perubahan sedemikian rupa. Yang
salah itu para penegaknya, para atasannya, mereka yang lebih mementingkan diri
sendiri dan menyampingkan tanggung jawab dan nuraninya atas orang lain. Untuk itu
kita pasti berharap bahwa Indonesia dapat dipimpin oleh orang yang jujur dan
amanah, karena selama masih ada orang yang memiliki sifat curang, maka hukum
hanyalah sebuah alat tak bermakna penting.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar